Minggu, 29 Maret 2009
ISTANA RAJA GOWA
Kota Makassar, Sulawesi Selatan, masih memelihara artefak sejarah kejayaan masa lalunya. Di antaranya adalah sebuah bangunan rumah panggung berwarna coklat. Seluruh bangunan itu terbuat dari kayu. Kokoh berdiri, meski jelas terlihat usianya tidak muda lagi. Itulah Istana Balla Lampoa, bekas istana Kerajaan Gowa. Balla Lampoa dalam bahasa Makassar berarti rumah besar atau rumah kebesaran.Saat memasuki Istana Balla Lompoa, anda akan dijamu dengan hamparan meja makan dengan tudung saji warna merah. Namun, jangan berharap terlalu banyak. Dibalik tudung saji merah yang menggoda itu ternyata hanya ada piring berwarna putih kosong, tanpa ada isinya."Ini untuk menerima tamu. Posisi meja memperlihatkan posisi penerimaan tamu saat jamuan raja," kata penjaga Istana Balla Lompoa, Amir, saat saya berkunjung ke tempat itu suatu siang. Rumah raja itu kini beralih fungsi menjadi museum. Ruangan di dalam rumah itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu ruang utama seluas 60 x 40 meter dan ruang teras seluas 40 x 4,5 meter. Di dalam ruang utama terdapat tiga bilik berukuran 6 x 5 meter. Satu bilik adalah kamar pribadi raja, satu bilik lagi adalah tempat penyimpanan benda-benda pusaka, sementara bilik lainnya merupakan bilik kerajaan. Adapun bangunan di bagian belakang adalah tempat permaisuri dan keluarganya. Di ruangan utama ini, terdapat singgasana raja yang diletakkan di tengah-tengah ruangan. Peninggalan simbol-simbol kerajaan, seperti mahkota, senjata, payung raja, pakaian, bendera kebesaran, serta barang-barang lainnya termasuk sejumlah naskah lontar juga tersimpan di ruang utama museum Balla Lompoa.Sejatinya, ada satu lagi istana yang terletak dalam kompleks istana Balla Lompoa, yakni istana Tamalate. Letaknya tepat disamping istana Balla Lompoa. Namun, istana ini bukan asli rumah atau istana peninggalan Raja Gowa, melainkan hanya replika Tamalate yang konon dulu pernah ada di abad ke 13 dan menjadi istana raja Gowa pertama. Sekarang, bangunan ini digunakan sebagai gedung serbaguna. Istana Balla Lompoa dibangun tahun 1926 pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-31 I Mangngi-mangngi Daeng Matutu. Balla Lompoa pernah ditempati dua raja, yaitu I Mangngi-mangngi Daeng Mattutu dan Raja Gowa ke-32 A Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Kadir Aidir.Sebelum istana Balla Lompoa dibangun I Mangng-mangngi Daeng Mattutu, raja sebelumnnya Andi Makkalau, menggunakan rumah kediamannya di jalan Kumala Makassar sebagai istana. Saat I mangngi-mangngi berkuasa, seluruh benda peninggalan dipindahkan dari kediaman Andi Makkulau ke istana Balla Lompoa.Kompleks Istana Balla Lompoa memiliki luas 1 hektar, yang dibatasi dengan pagar tembok tinggi. Seluruh bangunan terbuat dari kayu ulin atau kayu besi, begitu pula seluruh atapnya sehingga bangunan istana ini dijamin andal menghadapi cuaca. Bangunan istana memiliki arsitektur bangunan khas Sulawesi Selatan (Bugis), yaitu rumah panggung, dengan tangga berketinggian lebih dari dua meter untuk masuk ke teras istana. Di teras istana itulah biasa digunakan untuk menerima tamu, atau bercerengkama. Ciri bangunan khas Bugis adalah berjendela banyak, masing-masing berukuran sekitar 0,5x0,5 meter. Di istana ini tersimpan antara lain 14 koleksi benda kerajaan yang tak ternilai, seperti mahkota, gelang, kancing, kalung, keris dan benda-benda lain yang umumnya terbuuat dari emas murni dan dihiasi berlian, batu ruby, intan, maupun permata.Koleksi perhiasan dan pustaka istana rata-rata memiliki bobot 700 gram, bahkan ada yang 1 kilogram. Selain perhiasan berharga, masih ada benda lain, seperti 10 tombak, keris, tujuh buah naskah lontara, juga dua buah kitab Al Quran yang ditulis tangan pada tahun 1848.Selain itu, di istana Balla Lompoa, anda bisa belanja suvenir seperti sarung sutera dan t-shirt yang dijual dengan harga rata-rata Rp 50 ribu. (Courtesy Kompas/Antara)
BAKKARA, KELAHIRAN SANG RAJA
Banyak yang sudah tau, bahkan dunia banyak mengenal namanya. Sisingamangaraja, Raja orang Batak. Beliau mengaturkan hukum, adat, ketetaprajaan dengan konsep bius yang disempurnakan. Beliau menegakkan HAM, membebaskan orang dari pasungan, memberi pengampunan hukuman bagi yang bertobat dari kesalahan.
Lahir di Tombak Sulu-sulu Bakkara. Tempat yang indah, sebuah lembah di tepian Danau Toba yang dilintasi sungai Aek Silang dan Aek Simangira yang bertemu di Onan Lobu. Istana kerajaan pertama sekali dibangun di sekitar Onan Lobu. Disana masih ditemukan tanda sejarah berupa Hariara Parjuragatan dan Batu Hundulan. Kemudian Istana Kerajaan dibangun lebih ke hulu yang kemudian disebut Lumbanraja.
Lumbanraja sempat menjadi satu wilayah desa, namun saat ini Nama Desa itu dirobah menjadi Desa Simamora. Hilanglah aspek kesejarahan bahwa disitu dulunya ada perkampungan Raja Sisingamangaraja yang disebut Lumbanraja.
Upaya untuk menghilangkan legenda kerajaan Sisingamangaraja pun berlanjut. Kompleks istana diserobot oleh penduduk dan enggan untuk meninggalkannya. Penghargaan untuk kesakralan istana itu juga dihilangkan. Tidak hanya oleh penduduk setempat, keutuhan keluarga turunan Sinsingamangaraja pun sulit dipadukan. Sering beda pendapat.
Pemerintah mencoba untuk membangun istana tersebut. Master Plan sudah disusun. Keluarga dan masyarakat yang masih menghargai dan menghormati Sisingamangaraja juga sudah menyepakati. Tata karma kerajaan harus dipenuhi. Namun yang terjadi, bangunan yang dibangun pemerintah asal jadi. Dalam waktu satu tahun ada yang rubuh, sebagian yang sisa terancam rubuh. Dana rehab pun diupayakan, hasilnya tetap tidak memenuhi kualitas kesakralan bangunan yang diharapkan sewaktu penyusunan master plan. Kenapa ?
Turunan Siraja Oloan lebih dulu menunjukkan kekuatan mengingkari kesakralan kompleks istana. Mereka membangun monument Siraja Oloan yang besar dihadapan “Sogit” Sisingamangaraja yang seharusnya bebas mengarah matahari terbit. Didalam sogit itu dulunya Sisingamangaraja memanjatkan doa kepada Mulajadi Nabolon. Ada lambang burung “Patiaraja” diatasnya.
Dengan adanya monument Siraja Oloan dihadapannya ibarat “sibongbong ari” menghambat arah sogit menyambut matahari terbit.
Siraja Oloan adalah rumpun marga termasuk Sinambela. Sinambela adalah rumpun marga termasuh Bona Ni Onan. Bona Ni Onan adalah yang menurunkan “lahiriah” Raja Manghuntal, Raja Sisingamangaraja I dan berturut-turut hingga 12 dinasti.
Bila rumpun terdekat “hasuhuton” pemangku kerajaan Sisingamangaraja tidak memperdulikan kesakralan peribadatan dan kompleks istana Raja Sisingamangaraja, lalu siapa lagi?
Bakkara, kelihatannya tidak memberikan ruang kepada pelestarian nilai sejarah Sisingamangaraja. Namun penghormatan masyarakat Batak di luar Siraja Oloan dan di luar Bakkara kepada Sisingamangaraja, tetap masih ada. Saat pemindahan tulang belulang Sisingamangaraja XII dari Tarutung misalnya, Balige sangat respon dan memberikan lokasi di Soposurung. Saat monument srikandi Lopian, putri Sisingamangaraja XII hendak dibangun, masyarakat Porsea respon dan memberikan lokasi di depan Kantor Camat Porsea. Walau akhirnya diketahui, sebagian keluarga Sisingamangaraja tidak sepakat pembuatan patung Lopian ditempatkan di Porsea.
Desa Lumbanraja telah dirobah menjadi Desa Simamora. Kompleks istana menjadi ajang orientasi proyek pelestarian yang tidak jelas juntrungannya. Penduduk dan keturunan Sisinganamngaraja masih enggan menyesuaikan dengan tata ruang yang sudah ada. Muncul bangunan baru tanpa sepengetahuan keluarga. Kuburan baru yang disesakkan didepan bangunan baru fasilitas istana. Runyam, pengertian dari kata “rundut” ibarat “jambulan ni parsigira”.
Bakkara saat ini tidak ada meninggalkan setitik pun sisa sejarah kearifan menandakan darisana dulu ada Raja Sakti yang sohor yaitu Sisingamangaraja. Hanya ada tanah dan batu, dan diberi tanda, disini dan disitu. Penduduk tidak memiliki nilai lebih sejarah, tradisi dan tata krama kerajaan.
Tak heran, bila masyarakat batak “heran”, kenapa kompleks istana ini dibiarkan seperti ajang rebutan proyek dan klaim pribadi?
Sisingamangaraja XII dulunya sudah tau akhir perjuangannya. Sebelum melakukan gerilya ke hutan belantara, diberikan amanat kepada Sionom Ompu (enam pemangku adat dari enam marga yang ada di Bakkara) dengan penitipan barang pusaka kerajaan. Seharusnya mereka dan keluarga Raja Sisingamangaraja menjadi “pemangku” tradisi Sisingamangaraja. Apa reaksi Sionom Ompu? Tentu saja keutuhan keluarga raja Sisingamangaraja harus terlihat. Arah dan tujuan pemugaran Istana Sisingamangaraja harus diemban keluarga. Mereka seharusnya didepan “manghobasi” memulai melaksanakan hajat itu. Pemerintah hanya mendukung, dan dukungan dari masyarakat kemungkinan lebih besar lagi.
by.Monang NaiposposISTANA PULAU PENYENGAT
Dizaman pemerintah Sultan Mahmud Syah (1761-1812 M), ketika beliau menikah dengan Engku putri binti Raja Haji Syahid Fisabilillah sekitar tahun 1801 M, pulau ini diserahkan kepada permaisurinyasebagai mahar atau maskawinnya. Karena peranan pulau penyengat seangat penting didalam kesejarahan Kerajaan Riau itulah, pulau penyengat ini menjadi terkenal dan menarik minat orang untuk berkunjung.
Menurut cerita, pulau kecil di Kepulauan Riau ini sudah lama dikenal para pelaut sejak berabad-abad yang lalu karena menjadi tempat persinggahan untuk mengambil air tawar yang cukup banyak tersedia dipulau itu. Menurut legenda lebih lanjut, nama “penyengat” diberikan kepada pulau itu, karena pernah pelaut-pelaut yang sedang mengambil air bersih ditempat itu diserang oleh semacam lebah (insect) yang dipanggil “penyengat” hingga menimbulkan korban. Sejak peristiwa itu pulau tersebut terkenal di kalangan pelaut dan nelayan dengan sebutan “Pulau Penyengat”. Pada saat pusat pemerintahan Kerajaan Riau bertempat di pulau itu, ia diresmikan dengan nama “Pulau Penyengat Indera Sakti”.
Karena letaknya sangat seterategis bagi pertahanan negeri Riau yang berpusat di Ulu Sungai Riau (Riau lama), pada abad-abad yang lalu pulau penyengat telah berkali-kali menjadi medan pertempuran (Perang Sultan Sulaiman – Raja Kecil Siak), bahkan tatkala terjadi perang Riau dengan Belanda (1782-1784) Pulau penyengat telah dijadikan pusat pertahanan yang utama. Benteng-benteng dengan sistem pertahanan dengan “gaya portugis” telah dikembangkan di Pulau itu yang sisa-sisanyamasih dapat dilihat sekarang.
Pada 1803 Pulau Penyengat telah dibina dari sebuah pusat pertahanan menjadi negeri, dan kemudian berkedudukan Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga, sementara sultan berkediaman resmi di Daik-Lingga. Baru kemudian pada tahun 1900 Sultan Riau-Lingga ke Pulau Penyengat. Sejak itu lengkaplah peran pulau penyengat sebagai pusat pemerintahan, adat istiadat, agama Islam, dan kebudayaan Melayu.
Di Pulau Penyengat terdapat peninggalan Kerajaan Melayu Riau-Lingga, makam Raja Ali Haji Pujangga Melayu Riau yang terkenal dengan Gurindamnya, makam Raja Ja’far, dan lain-lain. Di dalam Masjid Raya Pulau Penyengat yang dibangun 1882, juga masih terdapat beberapa koleksi peninggalan sejarah seperti Kitab suci Al-Quran yang ditulis tangan dan mimbar antik penuh ukiran.
Pulau Penyengat juga memiliki pemandangan alam yang indah, baik dipantai maupun di bukit-bukit. Anda bisa pula menyaksikan perkampungan tradisional penduduk, Balai Adat, Makam raja - raja dan perpustakaan sejarah kemelayuan dan atraksi kesenian.
Pulau penyengat terletak dikota Tanjungpinang sejauh lebih kurang 1,50 Km dari kota Tanjungpinang. Luasnya sekitar dari 3,50 km. tanahnya berbukit-bukit terdiri dari pasir bercampur kerikil, sementara pantainya umumnya landai; sebahagian berumput, sebahagian lagi berbatu berkarang. Diantara Pulau Penyengat dan Tanjungpinang terdapat selat yang lebarnya sekitar 1,5 km yang dapat dilewati dengan perahu.